Kebijakan Integrasi SMA dan SMK di Jepang

Sebuah buku lama tentang Teori dan Pemikiran yang terkait dengan SMA di Jepang ditulis oleh seorang pakar pendidikan kelahiran Tokyo dan pernah menjadi dosen di Nagoya University, namanya Prof Sasaki Susumu (佐々木享). Buku ini ditulis pada tahun 1976 dengan judul 高校論(koukou ron). Bukunya kecil tetapi padat isi.

Ada satu bab yang sedang saya baca, tentang 地域総合高校構想批判(chiiki sougou koukou kousou hihan) yang artinya Kritik terhadap konsep Integrated SMA di daerah.

Pada tahun 1974, Teacher Union mengeluarkan konsep untuk memperbaiki kondisi yang tak jelas antara SMA dan SMK di Jepang. Kondisi tak jelas tersebut adalah beberapa lulusan SMA yang tidak dapat lanjut ke PT bermasalah dengan kemampuannya bersosialisasi dalam masyarakat. Dan bagi lulusan SMK ada keterbatasan untuk melanjutkan ke PT. Karenanya TU mengusulkan Reformasi Pendidikan Jepang yang salah satu poinnya adalah penyatuan SMA dan SMK di daerah.

Sebagaimana di Indonesia, bentuk pendidikan menengah di Jepang adalah SMA umum (普通高校=futsuu koukou) dan SMK (専門高校=senmon koukou). Hal ini disebutkan jelas dalam Education Fundamental Law dan diperjelas dalam Gakkou kyouiku hou (Peraturan tentang Persekolahan) pasal 421.

Konsep pemisahan antara sekolah umum dan sekolah menengah adalah bentuk pelaksanaan demokrasi, yaitu memberikan kesempatan kepada warganegara untuk mengikuti pendidikan sesuai keinginannya. Penyediaan sekolah kejuruan adalah untuk menampung aspirasi warganegara yang tidak menginginkan pendidikan umum.

Sebenarnya apa yang terjadi di Jepang pada era 70-an hingga 80-an juga melanda sekolah-sekolah di Amerika. Banyak SMK yang diubah statusnya menjadi SMA umum sebagai upaya untuk memacu angka meneruskan ke PT.

Oleh karena itu muncul pendapat untuk menyusun kurikulum yang mengintegrasikan pendidikan kerja dan pendidikan umum. Semisal pendapat Theodore Lewis tentang perlunya pengajaran tentang kerja di sekolah umum, atau Norton Grubb yang menulis tentang integrated curriculum dengan memasukkan unsur vocational education di sekolah umum.

Prof Sasaki berpendapat sama, bahwa reformasi yang perlu dilakukan untuk pendidikan di level SMA adalah bukan mengintegrasikan sekolah SMA dan SMK, tetapi meramu kurikulum baru yang seimbang antara konten akademik dan konten vokasionalnya.

Prof Sasaki dengan tegas mengatakan bahwa istilah 職業教育=syokugyoukyouiku (pendidikan karir) tidak sama dengan 専門教育= senmonkyouiku (pendidikan kejuruan). Yang perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah umum bukan pendidikan kejuruan tetapi pendidikan karir.

Apa yang disampaikan oleh Prof Sasaki sejalan dengan ide Theodore Lewis, bahwa pendidikan tentang dunia kerja yang harus diperkenalkan kepada siswa SMA umum bukanlah pendidikan keahlian/kejuruan, tetapi pendidikan tentang karir. Lewis mengistilahkan keduanya dengan : ” education for work dan education for job”. Yang disebutkan terakhir itulah pendidikan kejuruan.

Mengapa peminat SMK kurang ?

Persoalan ini terkait dengan prestigius atau status dalam masyarakat. Sudah menjadi pandangan umum bahwa lulusan SMA lebih punya kans besar untuk meneruskan ke PT, dan ini berarti gelar yang diperoleh akan lebih tinggi ketimbang lulusan SMK yang langsung terjun ke dunia kerja. Opini seperti ini dipegang kuat oleh masyarakat Jepang.

Dalam usulan tentang “secondary education reform” yang disusun oleh UNESCO tahun 2005 dikatakan bahwa pemerintah harus membuka kesempatan luas kepada siswa-siswa SMK untuk melanjutkan pendidikan profesionalnya ke jenjang pendidikan tinggi.

Dengan usulan itu, maka kurikulum SMK pun harus dilengkapi dengan pendidikan umum selain pendidikan kejuruan. Tetapi dengan memasukkan materi pendidikan umum menyebabkan ciri khas kejuruan SMK dapat terkikis.

Dengan sistem yang berlaku sekarang banyak anak SMK di Jepang yang tidak melanjutkan ke PT umum, tetapi seandainya mereka memilih melanjutkan studi akan pilihan ke 専門学校=senmon gakkou (sekolah tinggi kejuruan atau akademi) adalah alternatif yang terbanyak dipilih. Ini karena  seleksi masuk perguruan tinggi umum masih disamakan antara SMA dan SMK yang notabene belajar konten yang berbeda.

Tulisan asli dari artikel ini dapat di lihat juga di: Kebijakan Integrasi SMA dan SMK di Jepang

Kontributor

Murni RamliMurni Ramli. Lulusan Institut Pertanian Bogor ini pernah berprofesi sebagai tenaga pendidik di dua sekolah berasrama (boarding school) di Bogor. Dalam kesibukannya saat ini sebagai Kandidat Doctor (PhD) di bidang Manajemen Sekolah di Graduate School of Education and Human Development, Nagoya University, Japan, Beliau sangat aktif menulis tentang informasi dan pandangannya seputar manajemen & dunia pendidikan serta berbagai informasi menarik tentang negeri, budaya dan pandangan orang-orang Jepang. Pemilik blog “Berguru” ini juga sangat menyenangi dunia Penelitian dan Pengembangan serta mempelajari berbagai bahasa sehingga bisa menguasainya engan cukup baik, di antaranya: Bahasa Inggris, Arab, Jawa, Bugis dan sedikit Bahasa Sunda.

Share and Enjoy: These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • MisterWong
  • Y!GG
  • Webnews
  • Digg
  • del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • blogmarks
  • Blogosphere News
  • Facebook
  • LinkedIn
  • Squidoo
  • Technorati
  • YahooMyWeb
  • Socialogs
  • email
Posted in: Education
blank

About the Author:

1 Comment on "Kebijakan Integrasi SMA dan SMK di Jepang"

Trackback | Comments RSS Feed

  1. blank sugiono,s.pd says:

    terima kasih infonya ibu..banyak sekali manfaat yang saya dapat, mudah2an sy lolos seleksi program teacher training ke jepang, mohon kesediaan jika saya bnyak membutuhkan informasi. terima kasih..

Post a Comment