KEP. 231/MEN/2003 – TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM

KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 231 /MEN/2003

TENTANG

TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:

  1. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 90 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur mengenai tata cara penangguhan pelaksanaan upah minimum;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

Mengingat:

1.      Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);

2.      Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No. 100 mengenai Pengupahan yang Sama Bagi Buruh Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 171 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2153);

3.      Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3201);

4.      Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);

5.      Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);

6.      Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

7.      Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54);

8.      Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong.

Memperhatikan:

  1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 31 Juli 2003;
  2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 9 Oktober 2003;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1.      Upah minimum adalah upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur.

2.      Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

3.      Pengusaha adalah :

  1. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
  2. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
  3. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

4. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

Pasal 2

(1) Pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimum.

(2) Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka pengusaha dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.

Pasal 3

(1)     Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) diajukan oleh pengusaha kepada Gubernur melalui Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum.

(2)     Permohonan penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat.

(3)     Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) Serikat Pekerja /Serikat Buruh yang memiliki anggota lebih 50 % dari seluruh pekerja di perusahaan , maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan untuk menyepakati penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

(4)     Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) Serikat Pekerja/Serikat Buruh, maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan untuk menyepakati penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang memiliki anggota lebih dari 50 % (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.

(5)     Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak terpenuhi, maka serikat pekerja /serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50 % (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja / buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili perundingan dalam menyepakati penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

(6)     Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) atau ayat (5) tidak terpenuhi, maka para pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah pekerja/buruh dan anggota masing masing serikat pekerja/serikat buruh.

(7)     Dalam hal di perusahaan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka perundingan untuk menyepakati penangguhan pelaksanaan upah minimum dibuat antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang mendapat mandat untuk mewakili lebih dari 50 % (lima puluh perseratus) penerima upah minimum di perusahaan.

(8)     Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui perundingan secara mendalam, jujur, dan terbuka.

Pasal 4

(1) Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum harus disertai dengan :

  1. naskah asli kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan;
  2. laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari neraca, perhitungan rugi/laba beserta penjelasan-penjelasan untuk 2 (dua) tahun terakhir;
  3. salinan akte pendirian perusahaan;
  4. data upah menurut jabatan pekerja/buruh;
  5. jumlah pekerja/buruh seluruhnya dan jumlah pekerja/buruh yang dimohonkan penangguhan pelaksanaan upah minimum;
  6. perkembangan produksi dan pemasaran selama 2 (dua) tahun terakhir, serta rencana produksi dan pemasaran untuk 2 (dua) tahun yang akan datang;

(2)     Dalam hal perusahaan berbadan hukum laporan keuangan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b harus sudah diaudit oleh akuntan publik.

(3)     Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila diperlukan Gubernur dapat meminta Akuntan Publik untuk memeriksa keadaan keuangan guna pembuktian ketidakmampuan perusahaan.

(4)     Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Gubernur menetapkan penolakan atau persetujuan penangguhan pelaksanaan upah minimum setelah menerima saran dan pertimbangan dari Dewan Pengupahan Provinsi.

Pasal 5

(1)     Persetujuan penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ditetapkan oleh Gubernur untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan.

(2)     Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dengan :

  1. membayar upah minimum sesuai upah minimum yang lama, atau;
  2. membayar upah minimum lebih tinggi dari upah minimum lama tetapi lebih rendah dari upah minimum baru, atau;
  3. menaikkan upah minimum secara bertahap.

(3) Setelah berakhirnya izin penangguhan, maka pengusaha wajib melaksanakan ketentuan upah minimum yang baru.

Pasal 6

(1)       Penolakan atau persetujuan atas permohonan penangguhan yang diajukan oleh pengusaha, diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak diterimanya permohonan penangguhan secara lengkap oleh Gubernur.

(2)       Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir dan belum ada keputusan dari Gubernur, permohonan penangguhan yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), maka permohonan penangguhan dianggap telah disetujui.

Pasal 7

(1)     Selama permohonan penangguhan masih dalam proses penyelesaian, pengusaha yang bersangkutan tetap membayar upah sebesar upah yang biasa diterima pekerja/buruh.

(2)     Dalam hal permohonan penangguhan ditolak Gubernur, maka upah yang diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, sekurang-kurangnya sama dengan upah minimum yang berlaku terhitung mulai tanggal berlakunya ketentuan upah minimum yang baru.

Pasal 8

Dengan ditetapkannya keputusan ini, maka segala peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan keputusan ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 9

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JACOB NUWA WEA

Share and Enjoy: These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • MisterWong
  • Y!GG
  • Webnews
  • Digg
  • del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • blogmarks
  • Blogosphere News
  • Facebook
  • LinkedIn
  • Squidoo
  • Technorati
  • YahooMyWeb
  • Socialogs
  • email
blank

About the Author:

2 Comments on "KEP. 231/MEN/2003 – TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM"

Trackback | Comments RSS Feed

Post a Comment