By December 19, 2008 0 Comments Read More →

Pendidikan tidak manusiawi

Pendidikan AnakSudah berminggu-minggu kelas seminar PDP membahas masalah hasil PISA dan kaitannya dengan ujian untuk siswa kelas 6 SD dan kelas 3 SMP di Jepang. Guru-guru yang menjadi peserta utama dalam kelas ini selalu membawakan cerita-cerita baru tentang soal-soal ujian yang tidak masuk akal.

Seorang guru Bahasa Inggris SMA menceritakan perubahan drastis tipe-tipe soal ujian yang baru, yang membuat siswa-siswanya banyak mengalami kegagalan. Beliau juga menyebutkan bahwa salah satu universitas ternama di bidang teknologi malah mengujikan mata pelajaran sains dalam Bahasa Inggris.

Kami membahas tentang kemampuan berbahasa dan kemampuan membaca. Kemampuan membaca menjadi salah satu materi yang diujikan di dalam PISA test. Sebagai gambaran, hasil PISA 2006, 6.7% anak-anak Jepang mempunyai kemampuan membaca di bawah level 1, 11.7% level (1), 22.0% level (2), 28.7% level (3), 21.5% level (4), dan 9.4% level (5). Bandingkan dengan Indonesia, yaitu 21.8% di bawah level (1), 36.%% pada level (1),  29.1% level (2), 11.2% level (3), 1.5% level (4), dan hanya 0.1% pada level (5). Level 1 adalah terendah dan level 5 tertinggi.

Dengan hasil yang sedemikian rupa, pemerintah Jepang merasa schock dan memutuskan untuk menerapkan kembali ujian akhir secara nasional yang semula sudah dihapuskan sejak tahun 1960.

Gakusyuushidouyouryou (panduan tentang kurikulum dan penjelasan mata pelajaran dari TK hingga SMA) yang baru dalam penjelasan tentang pelajaran Bahasa Jepang mengacu kepada reading literacy PISA atau para guru mengatakan, lebih tepat dikatakan mengacu kepada “soal-soal reading PISA”. Dengan model baru, terlalu banyak materi yang harus diberikan kepada siswa. Misalnya saja siswa kelas 1 dan 2 SD diharuskan untuk :

  1. Menuliskan kesan dan tanggapan terhadap bacaan atau cerita
  2. Menulis laporan tentang pengalaman, kesan
  3. Barang-barang yang ada di sekelilingnya mampu dijelasakan dengan mudah
  4. Mencatat hal-hal penting yang disampaikan guru
  5. Hal-hal yang ingin disampaikan hendaknya dituliskan secara mudah dalam bentuk surat.

Untuk kelas 3 dan 4 :

  1. Berdasarkan kesan terhadap sesuatu peristiwa/barang, siswa mampu membuat cerita (monogatari) atau uraian
  2. Hal-hal yang menjadi pertanyaan di dalam diri, harus dicari jawabannya, kemudian menuliskan laporan dan boleh ditampilkan di koran kelas.
  3. Bahan-bahan/data yang dikumpulkan dapat dipergunakan untuk menyusun laporan
  4. Menulis surat dengan berbagai jenis dan kondisi

Kelas 5 dan 6 :

  1. Berdasarkan kesan yang diperoleh terhadap sesuatu, siswa mampu menulis lirik lagu yang pendek, haiku (puisi), cerita
  2. Menuliskan laporan berdasarkan tema pribadi yang didasarkan kepada hasil pencarian, dan penilaian berdasarkan pemikiran pribadi
  3. Menulis artikel/tulisan untuk dipublikasi, atau yang akan dibaca oleh banyak orang.

Tuntutan seperti di atas melebihi kemampuan dasar dan pola belajar bahasa anak-anak Jepang. Dengan kesederhanaan itu, kebanyakan guru bahasa kelas 1 menuntun siswa untuk mahir menulis huruf-huruf tersebut dengan baik dan benar. Membaca baru dilakukan setelah huruf-huruf dipahami tentunya, lalu bagaimana menyuruh mereka menuliskan kesan ? Anak-anak kelas 1 biasanya baru diajarkan untuk membaca oleh guru dan orang tua di rumah dengan menggunakan buku e hon (buku bergambar) yang gambarnya banyak dan tulisannya hanya satu atau dua baris saja. Tapi dengan metode ini, anak-anak Jepang menjadi senang membuka buku-buku cerita yang pada akhirnya menggemari buku.

Kesenangan kepada bacaan ditumbuhkan sejak kecil dengan tersedianya ribuan buku bacaan anak. Tapi dengan pola ujian ala PISA, banyak guru yang menyangsikan anak-anak benar-benar mengerti apa yang mereka baca, sebab guru, dengan alasan agar anak bisa menjawab hasil ujian, memberikan kata-kata kunci saja.  Sama seperti ketika guru Bahasa Inggris mengajarkan kata-kata kunci saja untuk mengetahui urutan bacaan.

Kemampuan anak-anak menulis dengan baik baru kelihatan sejak mereka duduk di bangku kelas 3 atau 4, tetapi itu pun masih menggunakan hiragana. Dan apresiasi siswa baru terbentuk dengan agak baik ketika mereka duduk di kelas 5 atau 6 SD.

Dengan pola pendidikan yang lama, banyak guru menyangsikan benarkah anak didiknya tidak menguasai pelajaran bahasa Jepang, dengan kegagalan dalam tes PISA. Analisa mulai dibuat terhadap soal-soal PISA, dan memang menurut para guru anak-anak Jepang tidak terbiasa dengan pola pertanyaan seperti itu, sehingga wajar jika mereka tidak mampu menyelesaikannya.

Tetapi mengubah pola belajar bahasa dengan alasan agar dapat menjawab soal-soal PISA adalah sesuatu yang lambat laun menghilangkan aspek manusiawi dalam pendidikan. Mengapa demikian ?

Mempelajari bahasa, melatih komunikasi dengan gaya bahasa ibu adalah sebuah budaya yang diajarkan dengan memperhatikan kemampuan dan daya tangkap anak. Kemampuan berbahasa ibu tumbuh sesuai dengan usia dan tidak bisa dipaksakan. Aspek-aspek ini yang diperhatikan dalam pendidikan bahasa ibu di SD-SMP Jepang selama ini. Dan dengan pola baru, ala PISA, prinsip-prinsip ini mulai hilang dan guru mengajar bagaikan dikejar waktu.

Saya paling suka pelajaran Bahasa Indonesia sejak dulu, dan bagian yang paling saya sukai di SD adalah saat-saat membaca pantun jenaka, atau pelajaran dikte peribahasa. Pelajaran dikte menurut saya sangat sederhana, tetapi anak-anak kelas 1,2 dan 3 yang belum mempunyai banyak kosa kata, kadang-kadang tidak bisa memisahkan penulisan kata dengan baik.

Begini contoh yang saya masih ingat. Ada peribahasa : “Tidak usah mengajari anak buaya berenang”. Sewaktu pelajaran dikte (saya lupa kelas berapa), saya menuliskan : “Tidak usah mengajari anak buah ya berenang” Hanya karena saya tidak tahu apa bedanya anak buaya dan anak buah ya  :D

Sebagai contoh yang lain, seorang teman menceritakan anaknya yang mengerjakan soal Bahasa Indonesia. Anaknya kelas 3 SD. Pertanyaannya begini, “Ketika menyeberang jalan, kita harus ……..lampu lalu lintas”. Pilihannya : a. melihat, b. memperhatikan, c. memandang
Si anak memilih jawaban a. Jawaban yang benar menurut kuncinya adalah b.
Mengapa si anak memilih jawaban a ? Analisa saya karena dia tinggal di Jepang. Saat menyeberang biasanya guru TK atau SD akan berkata, “sin go mite ne” (lihat lampu merah), gurunya tidak mengatakan : “sin go o chuui shite ne” (perhatikan lampu merah). Kata “memperhatikan” terlalu sulit bagi anak-anak kelas 3 SD untuk membedakannya dengan kata melihat, atau kata memandang.

Demikianlah, dunia atau negara atau pemerintah boleh punya banyak obsesi untuk menjadi negara dengan siswa terpintar, tapi pendidikan haruslah tetap dibawakan secara manusiawi !

Tulisan Asli artikel ini dan artikel menarik lainnya tentang dunia pendidikan dapat pula di akses pada: Pendidikan tak manusiawi

Murni RamliMurni Ramli. Lulusan Institut Pertanian Bogor ini pernah berprofesi sebagai tenaga pendidik di dua sekolah berasrama (boarding school) di Bogor. Dalam kesibukannya saat ini sebagai Kandidat Doctor (PhD) di bidang Manajemen Sekolah di Graduate School of Education and Human Development, Nagoya University, Japan, Beliau sangat aktif menulis tentang informasi dan pandangannya seputar manajemen & dunia pendidikan serta berbagai informasi menarik tentang negeri, budaya dan pandangan orang-orang Jepang. Pemilik blog “Berguru” ini juga sangat menyenangi dunia Penelitian dan Pengembangan serta mempelajari berbagai bahasa sehingga bisa menguasainya engan cukup baik, di antaranya: Bahasa Inggris, Jepang, Arab, Jawa, Bugis dan sedikit Bahasa Sunda.

.

Share and Enjoy: These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • MisterWong
  • Y!GG
  • Webnews
  • Digg
  • del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • blogmarks
  • Blogosphere News
  • Facebook
  • LinkedIn
  • Squidoo
  • Technorati
  • YahooMyWeb
  • Socialogs
  • email
Posted in: Editorial, Education
blank

About the Author:

Post a Comment