KENDALA WAWANCARA DALAM MENSELEKSI KARYAWAN
Wawancara untuk penyeleksian calon karyawan baru merupakan sebuah proses formal. Dalam prosesnya terdapat wawancara mendalam untuk mengevaluasi daya tangkap pelamar. Para pewawancara mencari jawaban tiga pertanyaan besar:
- Dapatkah pelamar melakukan pekerjaannya?
- apakah pelamar benar-benar berkehendak mengerjakannya?; dan (
- bagaimana pelamar membandingkan dengan hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk pekerjaannya, seperti dalam hal prestasi akademik, kualitas pribadi (penampilan pisik, kemampuan berbicara, perbendaraharaan bahasa, ketenangan, ketegasan dan sebagainya), pengalaman kerja, kemampuan antarpribadi, dan orientasi karir dari pelamar?
Dalam prakteknya, wawancara memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu. Beberapa hal diantaranya yang menyangkut sisi kehandalan dan keabsahannya. Kehandalan yang baik berarti bahwa penafsiran dari hasil wawancara cenderung relative sama antara hasil pewawancara yang satu dan pewawancara lainnya. Namun, biasanya bisa terjadi deviasi opini antara pewawancara yang satu dengan pewawancara lainnya. Kalau perbedaan deviasinya sangat nyata maka perlu didiskusikan secara intensif. Siapa tahu ada kekeliruan penafsiran oleh beberapa pewancara tertentu. Di lain kesempatan semua pewawancara harus dilatih lebih dahulu. Tujuannya agar mampu melakukan wawancara yang mudah dimengerti para pelamar. Dan terpenting memiliki kesamaan tafsir atas setiap pertanyaan dan jawaban. Lalu, bagaimana dengan derajat keabsahannya?
Keabsahan dari wawancara sering dipertanyakan karena beberapa departemen atau divisi dalam perusahaan menggunakan pertanyaan standar dengan ukuran tersendiri. Bisa jadi mereka memiliki kriteria dan ukurannya masing-masing. Namun perlu ada kesepakatan bahwa wawancara dimulai dengan cara mengetahui karakteristik personal, minat, dan kapabilitas pelamar. Kemudian membandingkan hasil dari pewawancara yang satu dengan yang lainnya. Keabsahan wawancara yang lebih baik diperlukan karena hal itu berhubungan dengan sifat manusia para pelamar. Untuk kebanyakan wawancara, bisa saja hasil wawancara tidak selalu berkorelasi positif dengan kinerja potensial pelamar ketika mereka sudah menjadi karyawan. Mengapa demikian? Karena hampir semua karyawan memiliki sifat yang sangat manusiawi yakni semacam hukum perubahan. Apakah perubahan pada sisi positif ataukah negatif; bisa karena unsur intrinsik bisa juga karena ekstrinsik karyawan bersangkutan.
Selain keterbatasan dalam kehandalan dan keabsahan, menarik untuk diungkapkan ternyata dalam beberapa hal, wawancara tidak bisa digunakan sebagai satu-satunya alat terakhir untuk menyeleksi karyawan. Alasannya antara lain wawancara sangat dipengaruhi bias subyektif dari pewawancaranya. Tidak jarang ditemukan error dalam persepsi dan penilaian dari pewawancara. Hal itu bisa mengakibatkan hasil wawancara kurang dapat dipercaya. Sebagai contoh, pewawancara sering membentuk kesan awal dari pelamar pekerjaan hanya didasarkan pada informasi yang tercantum pada formulir lamaran. Atau hanya beberapa menit pertama saja dari proses wawancara.
Kesan awal sering bersifat melawan perubahan karena informasi obyektif yang diterima relatif sedikit. Para pewawancara mendasarkan diri pada pertanyaan-pertanyaan berikutnya dan menilai respons pelamar pada kesan pertama dalam mencoba mengkonfirmasi kepercayaan mereka terhadap pelamar. Bentuk kesalahan lain tentang persepsi disebut hello effect. Dalam hal ini karakteristik atau perilaku pelamar pekerjaan (positif dan negatif) mengesampingkan semua atau hampir semua karakteristik yang lain. Sebagai contoh, jika seorang pelamar datang untuk wawancara dengan gaya berpakaian tertentu dapat mempengaruhi bias personal dari pewawancara. Selain itu juga dikenal contrast effect, dimana pewawancara sangat bias pada penilaian masa lalu pelamar yang kinerjanya sangat rendah. Hampir mirip dengan bias seperti itu manakala pelamar memiliki kinerja masa lalu yang baik bahkan sangat baik. Dengan demikian, bias personal sangat memengaruhi obyektifitas hasil wawancara.
Untuk mengurangi bias personal sekaligus dengan perbaikan derajat kehandalan dan keabsahan proses wawancara, maka beberapa hal yang perlu diterapkan adalah sebagai berikut.
- Menentukan syarat-syarat pekerjaan melalui analisis pekerjaan formal;
- Fokus hanya pada syarat-syarat pengetahuan yang dibutuhkan, keahlian, kemampuan, dan karakteristik lainnya yang penting untuk mampu melakukan pekerjaan dengan baik;
- Mengembangkan pertanyaan-pertanyaan dalam wawancara yang didasarkan pada informasi yang dikumpulkan dalam analisis pekerjaan;
- Melaksanakan wawancara dalam suasana rileks, mencoba menempatkan pelamar secara biasa dengan memberikan informasi umum tentang perusahaan dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Sangat signifikan manfaatnya jika wawancara dimulai dari pertanyaan-pertanyaan informal, seperti pribadi dan sebagainya.;
- Mengevaluasi tiap pelamar sesuai dengan pengetahuan, keahlian, sikap dan kemampuannya yang relevan dengan jenis pekerjaan yang akan diberikan.
Artikel ini dan tulisan menarik dapat dilihat juga di:KENDALA WAWANCARA DALAM MENSELEKSI KARYAWAN
Kontributor:
Prof. Dr. Ir. H. Sjafri Mangkuprawira seorang blogger yang produktif, beliau adalah Guru Besar di Institut Pertanian Bogor yang mengasuh berbagai mata kuliah di tingkat S1 sampai S3 untuk mata kuliah, di antaranya: MSDM Strategik, Ekonomi Sumberdaya Manusia, Teori Organisasi Lanjutan, Perencanaan SDM, Manajemen Kinerja, Manajemen Pelatihan, Manajemen Program Komunikasi. MSDM Internasional, Manajemen Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan,
Beliau adalah salah seorang pemrakarsa berdirinya Program Doctor bidang Bisnis dan dan saat ini masih aktif berbagi ilmu di Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor (MB-IPB).
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang diri dan pemikiran-pemikiran beliau, silakan kunjungi Blog beliau di Rona Wajah
Connect
Connect with us on the following social media platforms.