Peran Konsultan Sekolah di Jepang
Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini pun saya berkesempatan menemani Professor Nambu untuk memberikan konsultasi di sekolah-sekolah yang ada di kota Takahama, Aichi. Program ini seperti pernah saya ceritakan sebelumnya sudah berlangsung kira-kira empat atau lima tahun.
Akibat kuatnya peranan The Educational Board (Dinas Pendidikan) di Jepang, bisa dikatakan sekolah-sekolah sebenarnya belum dapat menerapkan otonomi dengan baik. Semakin banyaknya kebijakan baru terkait dengan evaluasi sekolah, evaluasi guru, achievement test untuk siswa, membuat proses belajar mengajar di sekolah tidak bisa berjalan dengan lancar. Banyak administratur sekolah yang tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, atau memiliki konsep yang bagus tetapi gagal menerapkannya.
Permasalahan lain adalah tuntutan agar sekolah mampu menjadi sekolah daerah yang mewakili dan mampu membawakan konsep-konsep kedaerahan di bangku-bangku sekolah, paham dengan kondisi ekonomi dan perkembangan sosial kemasyarakatan yang terjadi guna mengembangkan metode belajar yang benar-benar bermakna mendidik.
Program konsultan sekolah di Takahama bukan program wajib dari Kementerian Pendidikan Jepang. Bukan pula program yang disodorkan oleh Universitas kepada sekolah-sekolah. Tetapi merupakan cetusan ide walikota Takahama dalam rangka membangun pendidikan kota Takahama yang mencerminkan karakter kota. Ide walikota ini kemudian disampaikan kepada Educational Board yang sebenarnya merupakan badan independen, dan movement selanjutnya adalah koordinasi antara professor universitas dengan pihak educational board.
Konsep konsultan sekolah juga bukan sebuah bisnis yang bertujuan mengeruk uang dari lembaga-lembaga pendidikan. Konsep ini berjalan sebagai sebuah bentuk pengabdian kampus kepada masyarakat. Kami sebagai peneliti manajemen sekolah mendapat pelajaran berharga dari kesempatan menyaksikan praktek belajar, dan kerelaan kepala sekolah dan wakilnya beserta staf yang lain untuk menyampaikan apa yang sudah dikerjakannya, dan apa problema yang dihadapinya.
Lalu seperti apakah gerak konsultan sekolah ?
Konsultan sekolah tidak bisa dikatakan sebagai dokter yang mengobati orang sakit (sekolah), sebab pada dasarnya tidak ada sekolah yang sakit. Dan kami tidak menyediakan obat cespleng untuk menyembuhkan andaikan memang sekolahnya sakit. Konsultan sekolah berfungsi menuntun kepala sekolah dan guru untuk menemukan sendiri permasalahannya melalui keterbukaan, paparan kegiatan sekolah, rencana sekolah.
Pertama kali mengunjungi sekolah, konsultan sekolah tidak bisa hanya merekam nilai buruk sekolah tanpa ikut merangkum potensi sekolah. Konsep berfikir yang dipakai adalah konsep yang gampang diteorikan tetapi sulit diterapkan yaitu PDCA (Plan Do Check Action). Kebanyakan kepala sekolah di Jepang sudah menghafal di luar kepala konsep ini. Permasalahannya sekarang ada pada penerapannya.
Saya coba contohkan kasus yang selama ini kami pantau, yaitu program evaluasi sekolah oleh siswa, guru, dan orang tua yang mulai digalakkan penyelenggaraanya di semua SD dan SMP di Takahama sejak 2-3 tahun yang lalu.
Untuk mengetahui permasalahan sekolah, salah satu cara efektif adalah mengadakan survey, menanyakan penilaian siswa, guru dan ortu terhadap kegiatan dan proses belajar mengajar di sekolah. Poin yang ditanyakan dalam evaluasi sekolah tidak sama untuk setiap sekolah, tetapi tergantung kepada yang mana yang dianggap menjadi krusial untuk dipecahkan di sekolah bersangkutan. Jika belum muncul kepekaan administratur sekolah terhadap poin krusial ini maka sebaiknya dibuat pertanyaan yang umum saja dulu.
Sekarang kriteria apakah yang disebut masalah tersebut ? Di sekolah yang kami datangi beberapa poin yang dianggap masalah yang harus diperbaiki adalah sbb :
- Apakah siswa merasa senang datang ke sekolah ?
- Apakah proses belajar mengajar di kelas dirasakan berjalan lancar/menyenangkan?
- Apakah siswa mematuhi aturan yang sudah disepakati ?
- Apakah ada penyelesaian terhadap masalah pelecehan siswa (bullying) dan gangguan antar siswa ?
- Apakah siswa mengerti pelajaran ?
- Apakah siswa mampu berkomunikasi dengan baik ?
- Apakah siswa mampu mengucapkan salam dengan baik (ini untuk anak SD biasanya) ?
- Apakah orang tua sering berbicara dengan anak tentang masalah sekolah?
- Apakah orang tua selalu mendorong siswa untuk belajar di rumah?
- Apakah siswa berperilaku dan mampu bertindak mandiri dalam kebiasaannya sehari-hari ?
Selain pertanyaan di atas, ada pula sekolah yang menganggap masalah membaca buku adalah penting sehingga mengajukan pertanyaan tentang jumlah buku dan jumlah jam membaca siswa. Saat menyusun pertanyaan-pertanyaan ini tidak semua sekolah mampu melakukannya.Dengan bimbingan konsultan, biasanya kepala sekolah dan wakilnya mampu menemukan apa yang krusial di sekolahnya.
Setelah melakukan survey, pihak administratur sekolah dituntun untuk menyusun laporan hasil dan melakukan analisa. Pada step ini banyak administratur sekolah yang tidak bisa menyarikan hasil survey tersebut. Bahwa data tidak berbunyi apa-apa jika hanya disajikan dalam bentuk angka, misalnya siswa yang sangat setuju 75%, siswa setuju 10%, tidak setuju 15%. Administratur sekolah selanjutnya harus berfikir mengapa hasil survey berbunyi seperti itu ? Maksudnya apa yang menyebabkan siswa setuju 75% ? Jika kepala sekolah adalah orang yang peka dan rajin mengontrol sekolahnya maka dia pasti dapat menguraikan fakta ini dengan baik. Tetapi umumnya kepala sekolah tidak mampu membaca ini. Dan kebanyakan mereka merasa puas dengan angka setuju yang tinggi. Tetapi ada pula kepala sekolah yang selalu mempermasalahkan persentase tidak setuju yang hanya 1%.
Biasanya konsultan sekolah akan menjadi pendengar yang baik, dan sekaligus harus berani bersikap tegas manakala kepala sekolah perlu diingatkan akan tindakannya yang salah dalam mensikapi hasil evaluasi.
Banyak kepala sekolah yang selalu merasa puas setelah dengan hasil pemikirannya berhasil membuat sesuatu yang baru di sekolahnya. Misalnya ada seorang kepala sekolah yang dengan bangganya menunjukkan simbol patung baru yang dibuatnya di depan sekolah dan mengatakan dia mendapat sumbangan dari orang tua murid. Simbol itu berupa karakter atap rumah (onigawara) yang merupakan simbol daerah setempat. Lalu, kami tanyakan apakah dia berkonsultasi dengan guru, siswa dan orang tua saat menyusun rencana pembuatan itu. Kepala sekolah menggeleng, dan mengatakan itu tidak perlu. Konsultan harus pandai membimbing kepala sekolah dengan tipe one man show seperti ini untuk lebih terbuka kepada anggota sekolah lainnya.
Dari sekolah yang tidak mampu mengindikasi permasalahannya, sedikit demi sedikit mampu berkembang menjadi sekolah yang mulai memperhatikan kemauan manusia yang ada di dalam dan di luarnya melalui kegiatan evaluasi sekolah. Dari sekolah yang semula membuat rencana sekolah yang itu-itu saja setiap tahun tanpa mampu membuat perubahan sedikitpun terhadap permasalahan yang ada, menjadi seklah yang sedikit demi sedikit tahu harus menyusun rencana ke depan. Itulah yang diinginkan melalui program konsultan sekolah ini.
Sayangnya program ini kelihatannya kurang disosialisasikan kepada guru-guru. Sehingga terkesan banyak guru yang enggan kelasnya dipantau, tidak begitu suka dikunjungi saat mengajar. Saya memperhatikan beberapa guru yang tidak berubah style mengajarnya. Permasalahannya barangkali bukan hanya pada gurunya, tetapi harus ada pihak yang memberitahukannya bahwa style-nya perlu diperbaiki. Dan ini hanya bisa ditangkap dengan cermat oleh kepala sekolah yang rajin menyambangi kelas-kelas dan berkomunikasi aktif dengan guru dan siswa.
Banyak guru senior yang merasa segan dinasehati oleh pihak peneliti dari kampus, hanya karena alasan mereka lebih berpengalaman daripada peneliti yang hanya berkutat di teori. Pandangan seperti ini akan hilang apabila kedua pihak sama-sama berfikir tentang satu tujuan : mendidik anak agar menjadi orang yang siap berkembang.
Kemampuan administratur sekolah untuk mengelola sekolahnya, melakukan PDCA cycle memang dapat diberikan melalui forum-forum pelatihan. Tapi ini tidak ada artinya jika dalam pelaksanaannya kepala sekolah dibiarkan berkreasi sendiri, meraba-raba penerapan ilmu yang didapatnya di training tentang manajemen dan kepemimpinan.
Saya melihat training-training seperti ini tidak begitu banyak di Jepang, kecuali yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan, tetapi amat marak di Indonesia, bahkan menjadi lahan bisnis. Saya tidak menyalahkan itu, tetapi pendidikan di negara kita sulit untuk berhasil ketika kita mengedepankan masalah uang. Juga tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan dana proyek penelitian yang diajukan kampus-kampus. Sebab program akan berakhir saat dana habis. Tetapi sudah masanya kita berfikir bahwa orang-orang di kampus membutuhkan sekolah sebagai materi penelitian dan pengembangan keilmuan, dan sekolah membutuhkan suntikan ilmu, masukan, pendapat untuk berkembang lebih baik sebagaimana layaknya lembaga pendidikan.
Ketertautan dan keikhlasan (jiwa voluntary) seperti ini memang sulit ditumbuhkan di saat kita masih memikirkan masalah perut. Tetapi perut manusia adalah muara keserakahan. Tinggalah jiwa dan akal yang harus dibina kesehatannya agar tidak mengikuti keserakahan perut
Tulisan asli artikel ini dan tulisan menarik lainnya tentang pendidikan di Jepang dapat juga diakses langsung melalui link: Peran Konsultan Sekolah di Jepang
Kontributor:
Murni Ramli. Lulusan Institut Pertanian Bogor ini pernah berprofesi sebagai tenaga pendidik di dua sekolah berasrama (boarding school) di Bogor. Dalam kesibukannya saat ini sebagai Kandidat Doctor (PhD) di bidang Manajemen Sekolah di Graduate School of Education and Human Development, Nagoya University, Japan, Beliau sangat aktif menulis tentang informasi dan pandangannya seputar manajemen & dunia pendidikan serta berbagai informasi menarik tentang negeri, budaya dan pandangan orang-orang Jepang. Pemilik blog “Berguru” ini juga sangat menyenangi dunia Penelitian dan Pengembangan serta mempelajari berbagai bahasa sehingga bisa menguasainya dengan cukup baik, di antaranya: Bahasa Inggris, Jepang, Arab, Jawa, Bugis dan sedikit Bahasa Sunda.
.
Connect
Connect with us on the following social media platforms.