SISTEM RANKING DI KELAS UNTUK SD – SMU DAN MULTIPLE INTELLIGENCE
Dalam berbagai kesempatan, saya sering menyampaikan pendapat saya bahwa saya tidak setuju dengan sistem ranking di kelas untuk SD sampai SMU. Makanya anak saya sekolah sekarang di SD yang tidak mengenal sistem ranking. Banyak yang bertanya-tanya dengan sikap atau pandangan saya ini. Entahlah, apakah saya bertentangan dengan mainstream pemikiran yang ada, atau bagaimana, tetapi tentunya saya bersikap demikian bukan tanpa argumen.
Argumennya begini, jika di dalam kelas tersebut ada 4 orang anak, yang satu jago matematika dan fisika sehingga mewakili sekolahnya untuk lomba matematika dan fisika, yang satu jago bikin puisi atau prosa sehingga karyanya banyak dimuat di majalah atau media lainnya, sementara yang satu lagi jago main musik sehingga sudah manggung berkali-kali dalam festival band antar sekolah dan bahkan sudah rekaman walaupun underground, dan yang terakhir jago olah raga, katakanlah bulutangkis, sehingga sudah mewakili sekolah dalam berbagai turnamen dan masuk seleksi atlet berbakat.
Nah, siapakah yang pantas jadi juara kelas dari ke-4 anak di atas ? Bingung kan ?
Keempat anak di atas pantas jadi juara, di bidang masing-masing. Kita tidak bisa membandingkan mana yang lebih hebat diantara mereka. Mereka tidak bisa dibandingkan, karena bukan apple to apple. Masing-masing mereka memiliki keunggulan kecerdasan.
Jika kita mendalami teori multiple intelligence yang diungkapkan oleh Howard Gardner, maka kita akan memahami bahwa ada beberapa potensi kecerdasan yang terdapat di dalam diri seseorang. yaitu : Bodily-Kinesthetic, Interpersonal, Verbal-Linguistic, Logical-Mathematical, Naturalistic, Intrapersonal, Visual-Spatial, serta Musical. Perkembangan terakhir dari riset Howard Gardner menunjukkan ada kecerdasan lainnya, yaitu : existential, serta moral intelligence.
Pada prinsipnya setiap manusia memiliki kecerdasan yang berkembang, yang pasti tidak sama kadarnya. Bisa jadi ada satu yang sangat dominan, bisa jadi ada beberapa yang dominan, tetapi dalam kadar yang lebih rendah.
Jika ternyata kecerdasan yang berkembang dominan pada si anak adalah kecerdasan verbal, dan dia agak kurang di logika-matematika, lalu anda paksakan dia belajar IPA supaya masuk fakultas teknik, padahal si anak ingin masuk fakultas sastra atau ilmu budaya, maka tentu akan terjadi “tabrakan kepentingan” di sini. Anda bisa sewot sama si anak, dan si anak bisa stress. Artinya, pendidikan yang ideal sifatnya harus personal, mengeksploitasi kecerdasan si anak dengan sebaik-baiknya, memfasilitasinya dengan terarah, mengarahkannya, dan tentu saja memberikan dia skill untuk kehidupan.
Jika memang dia lemah dalam belajar matematika, maka bimbinglah dengan perlahan-lahan, jangan sekali-kali membandingkan dia dengan temannya, karena bisa jadi, dia sebenarnya kuat dalam kecerdasan visual, bukan matematika. Bukan berarti kalau dia kuat di kecerdasan visual lalu tidak perlu belajar matematika, bukan begitu. Tetapi kita harus lebih sabar dan telaten dalam membimbingnya dalam matematika, tetapi bisa jadi dia hanya butuh bimbingan yang minimal untuk kecerdasan visual, seperti seni rupa, melukis, atau bahkan desain. Juga bukan berarti anak yang kuat kecerdasan logika-matematika tidak perlu belajar bahasa. Tetap perlu, tetapi sekali lagi, tentu kita membimbingnya lebih telaten dan sabar dibanding anak yang memang lebih cerdas verbal.
Sistem pendidikan yang berlaku saat ini secara umum (tidak berarti semua lho), menempatkan kecerdasan logika-matematika sebagai acuan utama untuk menilai “seseorang itu cerdas”. Dengan demikian, sahabat saya, seorang sutradara film terkenal dan salah satu film-nya mendapatkan pujian luar biasa, tidak termasuk ke dalam kategori “cerdas” di SMA dulu. Sistem yang ada membuat dia tidak termasuk ke dalam kategori “cerdas”. Dia memang tidak jago matematika, tetapi dia memiliki kecerdasan tersendiri, yang tidak diakomodasi sebagai suatu kecerdasan oleh sistem yang berlaku saat itu. Saya yakin, banyak anak-anak yang sebenarnya cerdas (di bidangnya tentunya) tetapi tidak muncul atau tidak terfasilitasi dengan baik, karena sistem yang ada tidak membuat dia masuk kategori cerdas. Bukankah Tuhan itu menciptakan semua manusia itu cerdas ? (kecuali yang memiliki kelainan sejak lahir).
Menurut saya, yang paling gawat adalah, karena kita tidak memahami makna kecerdasan ini, maka akhirnya kita tidak mamfasilitasi suatu potensi kecerdasan seorang anak, dan akibatnya hanya tetap tersimpan sebagai potensi, tidak terasah. Jika kondisi ini terjadi, maka alangkah “berdosanya” kita sebagai guru atau orang tua, karena justru “mematikan” suatu potensi kecerdasan yang dahsyat ….
Buat saya, karena anak itu memiliki kecerdasan tersebdiri, maka tugas kita sebagai orang tua adalah mengarahkan dan memfasilitasi semampunya, dan jangan sekali-kali memaksakan sesuatu. Kita harus memahami kelebihan dan kekurangannya, dan menyesuaikan strategi kita dalam membimbingnya … itulah tugas kita sebagai orang tua …. mulai dari memahami si anak itu sendiri … … well, sekali lagi, this is my humble opinion lho …
NB : Ini ringkasan multiple intelligence yang saya cuplik dari sini :
Linguistic intelligence involves sensitivity to spoken and written language, the ability to learn languages, and the capacity to use language to accomplish certain goals. This intelligence includes the ability to effectively use language to express oneself rhetorically or poetically; and language as a means to remember information. Writers, poets, lawyers and speakers are among those that Howard Gardner sees as having high linguistic intelligence.
Logical-mathematical intelligence consists of the capacity to analyze problems logically, carry out mathematical operations, and investigate issues scientifically. In Howard Gardner’s words, it entails the ability to detect patterns, reason deductively and think logically. This intelligence is most often associated with scientific and mathematical thinking.
Musical intelligence involves skill in the performance, composition, and appreciation of musical patterns. It encompasses the capacity to recognize and compose musical pitches, tones, and rhythms. According to Howard Gardner musical intelligence runs in an almost structural parallel to linguistic intelligence.
Bodily-kinesthetic intelligence entails the potential of using one’s whole body or parts of the body to solve problems. It is the ability to use mental abilities to coordinate bodily movements. Howard Gardner sees mental and physical activity as related.
Spatial intelligence involves the potential to recognize and use the patterns of wide space and more confined areas.
Interpersonal intelligence is concerned with the capacity to understand the intentions, motivations and desires of other people. It allows people to work effectively with others. Educators, salespeople, religious and political leaders and counsellors all need a well-developed interpersonal intelligence.
Intrapersonal intelligence entails the capacity to understand oneself, to appreciate one’s feelings, fears and motivations. In Howard Gardner’s view it involves having an effective working model of ourselves, and to be able to use such information to regulate our lives.
Naturalist intelligence enables human beings to recognize, categorize and draw upon certain features of the environment. It ‘combines a description of the core ability with a characterization of the role that many cultures value.
Existential intelligence, a concern with ‘ultimate issues’, realizing that something exist in life, is to exhibit the proclivity to pose and ponder questions about life, death and ultimate realities.
Moral intelligence, ‘is a concern with those rules, behaviours and attitudes that govern the sanctity of life – in particular, the sanctity of human life and, in many cases, the sanctity of any other living creatures and the world they inhabit’.
Sekedar panduan untuk mengenai anak berkaitan dengan multiple intelligence, bisa dilihat di sini.
Artikel Asli dan tulisan-tulisan menarik lainnya dapat dibaca di: SISTEM RANKING DI KELAS UNTUK SD – SMU DAN MULTIPLE INTELLIGENCE
Kontributor:
Riri Satria, S. Kom, MM. Selain mejadi blogger dan dosen yang produktif, Sarjana dari Fakultas Ilmu Komputer UI dan MM bidang manajemen stratejik & internasional dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini adalah kandidat Doctor dari Program Pasca Sarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor (MB-IPB).
Selama lebih dari 10 tahun kiprahnya di bidang pendidkan dan konsultansi, dia pernah aktif di sebagai konsultan / Dosen di berbagai institusi di antaranya: KPMG (Klynvelt Peat Marwick Goerdeler), Lembaga Manajemen PPM, Program Magister Manajemen – Sekolah Tinggi Manajemen PPM, PT. Daya Makara UI (Makara UI Consulting). Saat ini beliau Menjadi knowledge entrepreneur dengan memimpin sendiri sebuah Lembaga Konsultansi Manajemen di Jakarta.
Connect
Connect with us on the following social media platforms.