TOLERANSI TERHADAP MUTU KERJA KARYAWAN YANG RENDAH
Saya sangat percaya tak ada satu pun pihak manajer yang tidak kecewa ketika mutu kerja karyawannya rendah atau di bawah standar perusahaan. Bahkan dia pasti bakal kesal dan marah. Nah kalau sudah begitu kekecewaan diujudkan dalam bentuk peringatan keras kepada karyawan bersangkutan. Kalau beberapa kali hal itu terjadi pada karyawan yang sama alih-alih promosi yang diberikan malah yang terjadi adalah demosi. Di sisi lain mengapa ada manajer yang tidak mudah marah atau tenang ketika mengetahui ada karyawannya yang bermutu kerja rendah.
Manajer yang tenang itu akan meneliti mengapa kinerja karyawannya seperti itu. Faktor-faktor apa saja yang dominan mempengaruhinya. Ketika sudah diketahui bahwa faktor yang mempengaruhinya adalah kondisi kesehatan yang kurang sehat maka manajer bersangkutan akan toleran terhadap sang karyawan. Bahkan menasehati karyawan agar pergi ke dokter dan memintanya untuk istirahat. Bisa jadi juga sang manajer akan toleransi ketika tahu bahwa unsur penyebab mutu kerja karyawan rendah adalah rusaknya fasilitas kerja yang digunakan.
Mutu kerja dan toleransi ada kaitannya. Seperti dalam kamus bahasa Indonesia, definisi toleransi adalah “sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan); pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan kelakuan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.” Namun dalam prakteknya toleransi tidak sembarang diberikan kepada orang lain. Hal itu baru bisa diujudkan kalau memang cukup beralasan bagi seseorang untuk bertoleransi. Sementara mutu kerja adalah kinerja seseorang yang diukur dari proses dan output (standar perusahaan) yang dihasilkannya. Semakin tinggi mutu kerja karyawan semakin besar penghargaan yang diberikan manajer kepada karyawan bersangkutan. Apa hubungan mutu kerja dengan toleransi manajer?
Sekurang-kurangnya ada tiga tipe manajer yang bersikap tentang mutu kerja dan kadar toleransi.
Yang pertama adalah manajer yang tidak toleran terhadap mutu kerja karyawan yang rendah. Tidak ada tawar menawar tentang mutu kerja. Hal ini sangat beralasan misalnya ketika kondisi fisik dan mental semua karyawan dalam keadaan prima, fasilitas kerja sudah cukup, manajemen kompensasi sangat layak, dan pelatihan kerja kerap diadakan. Kalau mutu rendah terjadi berulang kali maka siap-siaplah sang karyawan bersangkutan menerima sanksi dari perusahaan berupa demosi atau bahkan dikeluarkan.
Tipe yang kedua adalah manajer yang memiliki toleransi terhadap karyawan bermutu rendah. Dia tidak akan merasa terganggu oleh ulah karyawan yang bermutu kerja rendah kalau syarat-syarat pemenuhan mutu kerja yang sesuai dengan standar perusahaan tidak terpenuhi. Jadi sang manajer berpendapat mengapa karyawan yang harus disalahkan bahkan diberi sanksi manakala jumlah dan mutu unsur-unsur pendukung mutu tidak cukup.
Tipe manajer yang ketiga adalah mereka yang sepertinya tidak peduli tentang faktor-faktor yang memengaruhi kinerja karyawan. Pokoknya sekali karyawan sudah masuk sebagai subsistem kerja dalam suatu sistem perusahaan harus memiliki kinerja sesuai standar perusahaan. Terkesan sangat kaku dalam memberikan toleransi.
Kedua tipe manajer terdahulu walau memiliki sudut pandang tentang toleransi yang cenderung berbeda tetapi mengandung sisi positif yakni menempatkan toleransi secara proporsional. Kadar toleransi ditempatkan dalam kondisi tertentu atau tidak sembarangan. Keputusan tentang perlu tidaknya toleransi didasarkan pada beragam alasan tertentu yang bisa diterima secara teknis manajerial dan personalia. Sementara tipe manajer ketiga bisa jadi digolongkan sebagai seseorang yang kurang memahami aspek perilaku organisasi, manajemen produksi dan manajemen sumberdaya manusia.
Berdasarkan keragaman tipe manajer tersebut, pendekatan perbaikan mutu kerja pun akan berbeda.
Untuk fenomena tipe manajer pertama, perhatian yang perlu diberikan adalah pada unsur kendali mutu SDM karyawannya. Model penghargaan, pendekatan partisipatif, dan sanksi sebaiknya diterapkan agar karyawan termotivasi untuk meningkatkan mutu kerjanya.
Untuk fenomena tipe manajer kedua, perbaikan mutu kerja karyawan relatif lebih mudah. Dengan asumsi mutu SDM karyawannya sudah bagus maka perusahaan tinggal menyediakan fasilitas kerja yang standar, manajemen kompensasi yang kompetitif, dan pengembangan SDM sejalan dengan perbaikan teknologi fasilitas kerja.
Sementara terhadap fenomena pada tipe manajer ketiga, pendekatannya relatif lebih kompleks lagi. Yang menjadi sasaran utama perbaikan mutu kerja tidak saja karyawan tetapi justru juga sang manajernya. Sang manajer harus bersikap luwes terhadap mutu kerja karyawannya. Dan proporsional dalam mewujudkan toleransi. Karena itu perusahaan harus menetapkan standar baku tentang mutu dan batas-batas toleransi yang bisa diterima dalam hal mutu kerja karyawan
Tulisan asli dari artikel ini dan artikel menarik lainnya tentang MSDM dapat pula disimak melalui link ini: TOLERANSI TERHADAP MUTU KERJA KARYAWAN YANG RENDAH
Kontributor:
Prof. Dr. Ir. H. Sjafri Mangkuprawira seorang blogger yang produktif, beliau adalah Guru Besar di Institut Pertanian Bogor yang mengasuh berbagai mata kuliah di tingkat S1 sampai S3 untuk mata kuliah, di antaranya: MSDM Strategik, Ekonomi Sumberdaya Manusia, Teori Organisasi Lanjutan, Perencanaan SDM, Manajemen Kinerja, Manajemen Pelatihan, Manajemen Program Komunikasi. MSDM Internasional, Manajemen Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan,
Beliau adalah salah seorang pemrakarsa berdirinya Program Doctor bidang Bisnis dan dan saat ini masih aktif berbagi ilmu di Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor (MB-IPB).
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang diri dan pemikiran-pemikiran beliau, silakan kunjungi Blog beliau di Rona Wajah
terimakasih atas masukan2nya dengan demikianwawasan saya jadi bertambah.